Jumat, 23 April 2010

Kekasih yang Tercinta

Ketika tanganku mengukir sebuah keramik, pikiranku melayang-layang. Berharap suatu hari sesosok kekasih datang untuk mengisi rindu keramik dan pemahatnya. Kini sudah waktunya aku menahan kendali penaku, aku ingin berbincang dengan sang kekasih di maulid ini sebentar saja.

Salam dariku kekasih Allah, yang dijaga kesucian hatinya, yang memancar cahaya di wajahnya, yang tercium dari kata-katanya wangi surga, yang begitu agung dan dimuliakan.
Wahai baginda junjuangan alam, habibana wa Nabiyyana: assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kasih, bagaimana kabarmu?. Adakah kau masih menahan lapar untukku, untuk kami, ummat-ummatmu di masa depan?. Apakah kau masih mencintai kami padahal kami telah sama sekali tak menghargai penderitaan dan caci maki yang kau jalani demi kebahagiaan kami?.

Pujaan hati, tentu kini kau tengah menikmati kebahagiaan tiada tara atas jamuan Allah. Tentu kau tak lagi menjalani hari-hari penuh caci maki dan lemparan batu seperti dulu, tentu kau tak lagi menahan lapar, tentu kau tak lagi memakai baju berkain tipis yang kau tambal sendiri. Tentu kau tengah menyaksikkan kami dari singgasana surgawi di sisi Allah. Kau tengah menyaksikan kami abai dan melupakan semua perngorbanan yang telah kau lakukan untuk kami. Tentu kau tengah melihat kami tak mengingatmu lagi. Maka izinkanlah aku meminta maaf karena semua itu.

Kasih, izinkan aku – kami – untuk kembali belajar mencintai sepenuh hati. Izinkanlah aku untuk mengenang seluruh pengorbananmu.

Habibana… aku mengajakmu berbincang ini karena kegelisahanku pada diriku sendiri. Kegelisahan yang datang setelah meresapi seluruh makna pengorbanannmu untukku. Kini, ternyata aku telah sia-siakan dengan tak mengikuti kata-katamu dan seluruh petunjukmu. Kegelisahan yang datang dan mengendap merasuki seluruh kapiler rasa di tubuhku, memasuki sistem limbik dan amigdala, membuatku tak kuasa untuk tak berterimakasih padamu, menangis padamu dan bersholawat untukmu.

Jika telah banyak ummatmu yang berpaling darimu, jika telah banyak ummatmu yang tuli pada semua kata-katamu, jika telah banyak umatmu yang menyengaja diri kembali pada ke-jahiliyah-an yang kau kutuk sebagai noda zaman itu, jika telah banyak ummatmu yang ingkar kepada Allah dan kepadamu, aku tak ingin menjadi bagian dari mereka. Kasih, aku ingin tetap berada di belakangmu, setia, sempurna menjadi pengikutmu sampai kapan pun. Tapi pantaskah aku, pujaan hati? Pantaskah aku?

Rinduku, maafkan aku jika nyatanya aku selama ini tak kuhargai seluruh pengorbananmu berabad-abad lalu yang menyebabkan kau dicaci maki, diasingkan, diperangi, dinistakan untukku, untuk kami. Untuk ummatmu. Maafkan aku jika selama ini aku justru tenggelam dalam fatamorgana dunia, melupakan semua yang telah kau berikan, lalai pada semua yang telah kau peringatkan dan berpaling dari semua yang telah kau ajarkan untuk tunduk patuh kepada Allah. Maafkan aku.

Jika tiada maaf yang pantas untukku karena telah menyengajakan diri kembali pada kegelapan dan berpaling dari jalan kau bimbing, biarkan aku memujimu dalam sanjungan sholawat. Jika tiada maaf lagi bagiku, izinkanlah aku menjadi orang yang mendoakanmu walau ku tahu kau telah diselamatkan oleh Allah, tolong izinkan supaya aku sempat tercatat dalam amalku sebagai rasa terimakasih dan permohonan maafku kepadamu, duhai cahaya diatas cahaya yang senantiasa ku rindu.

Betapa jarak aku denganmu, kasih?. Begitu kufurnya aku terhadap nikmat yang sedang ku kecap selama ini, betapa irinya aku denganmu yang selalu pandai mensyukuri apa yang kau nikmati meskipun terlalu sedikit. Sementara aku selalu meminta tanpa pernah bersyukur. Betapa jarak aku denganmu, kasih?

Pujaan hati, berapakah jarak yang harus ku tempuh untuk mendekati maqam keagungan akhlaq dan kesucian hati yang surgawi sepertimu? Mampukah aku untuk sampai pada tempat itu, tempat yang begitu dekat denganmu? Melepas dahaga rindu yang mencekam padamu…

0 komentar: